Foto dari Pixabay |
Naluri bisa diterjemahkan sebagai sesuatu yang kasat mata, namun secara virtual sesuatu tersebut di persepsikan sebagai sifat yang khas dan spesifik. Seekor kucing yang dipelihara selama bertahun-tahun kemudian diperlakukan secara khusus (makannya Wishkaz, di latih toiletting, perawatan ke salon). Suatu hari si kucing tersebut bertemu dengan seekor tikus, lalu berusaha mengejarnya. Anehnya ketika tertangkap, tikus tersebut tidak dimakannya, justru si kucing malah mengajaknya bermain seolah tikus tersebut seperti bola wol. Beberapa perlakuan yang telah diterima si kucing selama ini, bukan berarti sifat alamiah kucing untuk berburu tikus (mice hunter) hilang begitu saja. Hanya saja, instink berburunya belum dinyalakan.
Gender dan kepemimpinan meskipun sekarang ini bukan menjadi trending topic dalam kajian penelitian, namun permasalahan ini masih menjadi isu yang kesannya ‘kalau di tinggalkan sayang’. Berbagai kampanye terkait kesamaan gender di berbagai dunia memiliki misi bahwa jenis kelamin bukan jamannya lagi untuk diperdebatkan mengenai keefektifan dalam kajian kepemimpinan sampai hal organisasional. Sebagaimana ungkapan Powell, bahwa dalam menghadapi pangsa pasar saat ini yang sangat kompetitif, suatu organisasi semaksimal mungkin menggunakan sumber daya manusia yang unggul sebagai pemimpin tanpa melihat jenis kelamin.
Secara biologis – anatomi tubuh – manusia, terbagi menjadi dua: laki-laki dan perempuan. Begitu pula secara historis, laki-laki mempunyai bentuk tubuh yang kekar, kuat, dan berperan untuk melindungi (mencari nafkah, pembuat keputusan, kepala rumah tangga); sedang di sisi lain, perspektif terhadap perempuan adalah secara fisik mereka lebih ditekankan pada hal keindahan dan kelemah lembutan. Perbedaan ini menjadi pertimbangan ketika berbicara figur perempuan menjadi seorang pemimpin. Yulk (2010) menyebutkan bahwa terdapat tiga hal kenapa diskriminasi gender ini muncul; adanya asumsi mengenai sifat dan keahlian yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang efektif (implicit theories), adanya perbedaan sifat-sifat yang melekat antara laki-laki dan perempuan (gender stereotypes), dan asumsi mengenai peran apa yang pas dijalankan baik oleh laki-laki dan perempuan (role expectations).
Berbicara gender dan efektivitas dalam kepemimpinan, selama ini perdebatan lebih terjadi pada area perbedaan perilaku apa saja yang dilakukan ketika memimpin, bukan pada efektifitas kinerja perempuan sebagai pemimpin. Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan dengan streotype yang melekat tidak membuktikan bahwa mereka bukan berarti tidak mampu untuk menjalankan peran pemimpin dengan efektif dalam memimpin proses organisasi untuk mencapai tujuan. Juga menunjukkan kapabilitas perempuan untuk memduduki posisi strategis organisasi karena keunggulannya dalam membangun hubungan interpersonal, lebih empati, komunikatif, dan kemampuan dalam membangun trust.
Problematika wanita karir
Foto dari Pixabay |
Menariknya, ada empat tugas perempuan yang tidak bisa digantikan perannya oleh laki-laki; menstruasi, mengandung & melahirkan, menyusui, serta membesarkan anak. Keempat hal tersebut tentunya memiliki pengaruh yang tidak langsung ketika perempuan menduduki jabatan strategis dalam organisasi maupun sebagai pemimpin organisasi sekalipun menurut hasil penelitian ini tidak terbukti terhadap efektivitas kinerja. Misalnya; ketika baru saja melahirkan tentunya sebagai seorang ibu, dirinya mempunyai kedekatan emosional yang lebih terhadap anaknya, sedang suatu saat anaknya sakit dan dia harus memimpin rapat penting dalam pengambilan keputusan.startegis organisasi. Kejadian ini tentunya menjadi polemik sendiri karena sekalipun dirinya adalah pemimpin pusat organisasi namun naluri seorang ibu akan membawanya untuk lebih dekat dan menemani anaknya yang sedang sakit.
Contoh kecil lainnya seperti menyiapkan makan pagi, keperluan suami bekerja serta anaknya yang akan bersekolah. Seorang perempuan yang bekerja, apalagi menduduki peran penting, tentunya di tuntut mampu mengalokasikan pikiran dan waktu yang lebih, di sisi lain perempuan secara naluri ingin berbakti kepada suami dan merawat anak, harus bangun pagi sebelum mereka bangun, dengan ritme waktu yang relatif pendek dari saat pulang kerja hingga bangun pagi tentunya dapat menjadi pemicu stres.
Lalu bagaimana dalam tinjauan religiusitas, mengenai perempuan yang berkarir? Misal dalam agama Islam, perempuan yang merepresentasikan keimanan dengan berjilbab, kurang tepat untuk menghadirkan efektivitas pada kondisi tertentu apabila bekerja di divisi bank yang tidak berbasis Islam. Terlebih apabila dirinya bekerja di sebuah perusahaan multinasional dan harus bepergian dari satu negara ke negara lain, tentunya akan menimbulkan dilema sendiri karena suami (muhrim) tidak bisa menemani.
Berdasar teori “feminine advantage” menyatakan bahwa kaum hawa memiliki keahlian dalam membangun kesepakatan – diplomatik, menciptakan harmoni (interpersonal skill yang baik, lebih empati, membangun kualitas hubungan), mampu untuk menginspirasi; hal ini tentunya menjadi kekuatan tersendiri bagi organisasi dalam menciptakan kefektifan untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan dukungan, penempatan posisi strategis yang lebih fleksibel, dan koordinasi, perempuan dapat berperan banyak dalam pencapaian tujuan suatu organisasi.
Nilai positif di atas tentunya tidak serta merta membuat perempuan berpikir ini kan jamannya emansipasi, sudah seharusnya perempuan bisa mandiri dan tidak terlalu tergantung kepada suaminya. Bekerja boleh, yang terpenting ada komunikasi dengan pasangan, tahu rambu-rambunya. Dan saya percaya bahwa setinggi apapun jabatan dan harta yang dimilikinya, perempuan tetaplah perempuan, dimana surga ada ditelapak kaki mereka. Hanya tiga hal yang bias merubah dunia, tahta, harta, dan wanita. Jadilah wanita yang menginspirasi seperti ibu anda.
Referensi:
Yukl, G. (2010). Leadership in Organization (7th edition). Upper Saddle River: Pearson.
0 Response to "Dinamika Karir Bagi Seorang Perempuan"
Posting Komentar