Ketika Roda Tak Harus Berputar

Bulan Mei 2013, beberapa media maupun penggemar sepak bola mendapat kabar. good news tapi juga bad news. Pasalnya, Sir Alex Ferguson, mengundurkan diri dari kursi kepelatihan setelah 26,7 tahun menjadi arsitek tim yang berjuluk setan merah, Manchester United. Berita baiknya, kepergian Ferguson tentunya akan memberikan sesuatu yang beda ketika melihat Manchester United berlaga, di lain sisi tentunya banyak kalangan khususnya fans United merasa kehilangan figur ayah yang telah menemani perjalanan tim selama hampir tiga dekade.



Customer is always the king, kalimat ini masih relevan dalam dunia marketing, di mana pelanggan dapat menyetir apa yang mesti di buat oleh produsen. Begitu juga di United. Banyak kalangan memprediksi bahwa pengganti Ferguson di United pasti tak jauh dari Jose Maurinho, “The Special One”, pelatih berkebangsaan Portugal yang dikenal dingin dan jenius seumurannya. Banyak klub yang telah di latih Mou, panggilan akrab Maurinho, sukses hampir di liga domestik maupun internasional. Inilah yang menjadi alasan utama media dan komentator bola memprediksi Mou lah pengganti ideal tim United ke depannya.

Namun, pihak internal United justru memilih David Moyes, pelatih tim Everton yang levelnya hanya ada di tengah klasemen, kurang untuk memenuhi ekspektasi publik akan United yang menargetkan juara tiap musimnya. Namun Ferguson justru beranggapan lain, dirinya memilih Moyes dan kalangan internal United karena pelatih yang sempat menolak menjadi asisten Ferguson di tahun 1998 ini, memiliki kelebihan yaitu loyalitas. Moyes telah bersama Everton selama 10 tahun, rentang waktu yang sangat jarang ada dalam dunia sepak bola. Di mana klub punya harapan, dan pelatih juga membutuhkan tantangan karir. Dan Maurinho, meskipun di segala hal paling unggul, tapi dirinya hanya bertahan 2-3 tahun dalam sebuah klub, dan ini menjadi bahan pertimbangan krusial bagi United.




Adaptasi ataukah Adopsi?

Sangat menarik, bagaimana sosok pemimpin di sesuaikan dengan karakteristik follower nya. United tidak mencari pelatih yang jenius dan dapat memberikan gelar tiap musimnya, United tidak mencari pelatih yang track records nya memiliki kredibilitas terhadap apa yang telah mereka capai, mereka tidak sedang membangun sebuah tim juara, tapi United lebih menekankan membangun stabilitas sebuah bangunan, visi. 

Seseorang yang merasa aman, terlindungi, maka hal ini dapat meningkatkan konsep dirinya sehingga individu akan menjadi pribadi yang optimis, siapan dalam melakukan kompetisi, dan tangguh. Mereka sedang menulis di atas batu.

Keputusan ini seolah membalikkan asumsi umum bahwa kepuasan dan kinerja sebagai patokan efektivitas organisasi, tapi loyalitas yang diharapkan dapat membangun stabilitas juga menjadi pertimbangan utama, terutama dalam lingkungan dengan individu ber-DNA pemenang. Ketika seorang pelatih memiliki loyalitas, secara tidak langsung berarti dirinya sudah melewati banyak hambatan dan rintangan tapi mereka tidak mudah goyah untuk mengambil langkah selanjutnya, meskipun mendapat tawaran tempat yang menggiurkan dari yang lain, loyalitas tersebut membangun trust secara tidak langsung pada pemain United. Pun dengan loyalitas itu, akan memberikan efek security atachment sehingga memunculkan rasa optimisme dan ketangguhan ketika ditempa krisis. Sebagaimana seorang anak yang ketika ada petir, ibunya selalu berada di samping dan mendekapnya.

Loyalitas bukanlah produk dari rational decision making, tapi lebih bersifat intuitif. Melihat apa yang tidak nampak oleh indera, bahwa keputusan tersebut benar, maka percayalah ke depannya akan benar juga.

Terima kasih sudah mampir di blog ini, meskipun kinerja David Moyes sebagai pelatih Setan Merah dianggap gagal oleh beberapa kalangan, namun tulisan ini lebih menyoroti hal lain.

Related Posts:

0 Response to "Ketika Roda Tak Harus Berputar"

Posting Komentar